Keberhasilan usaha pertanian atau peternakan tidak bisa ditentukan oleh petani saja, tetapi merupakan hasil sinergi antara petani (perusahaan usahatani) dengan perusahaan yang menghasilkan sarana produksi pertanian dan perusahaan yang akan mengolah atau memasarkan hasilnya serta komponen penunjang agribisnis. Karena itu, harus ada kesamaan sikap dan perilaku serta etika bisnis diantara pengusaha para pelaku sistem agribisnis.
Pembangunan agribisnis dapat dilakukan melalui pemberdayaan petani dan pelaku sistem agribisnis lainnya tentang hakekat sistem agribisnis, yakni membangun sikap mental dan budaya industri pada masyarakat pertanian secara keseluruhan. Perusahaan pengadaan dan penyediaan sarana produksi, perusahaan pengolahan dan perusahaan pemasaran, tidaklah serta merta menjadi Pembina dalam hubungan kemitraan inti plasma. Perusahaan tersebut, sebelum membina harus dibina terlebih dahulu oleh subsistem jasa penunjang agribisnis.
Suatu kesalahan yang sangat konyol selama ini adalah: (1) tindakan penyuluh yang selalu berfokus kepada upaya untuk memperbaiki kemampuan teknis produksi petani, padahal yang terpenting adalah meningkatkan kemampuan manajemen agribisnis dan manajemen hubungan sistem agribisnisnya; (2) para penyuluh kita telah terjebak di dalam lingkaran sistem kerja yang keliru, memandang peningkatan produksi sebagai tujuan akhir; (3) disadari atau tidak para pejabat pertanian kita telah membentuk opini masyarakat bahwa tingkat produksi dan produktivitas merupakan ukuran keberhasilan pembangunan pertanian; dan (4) para pejabat pertanian memandang bahwa perusahaan agribisnis yang berada di hulu dan di hilir sebagai pengusaha yang sudah professional dan memahami sistem agribisnis, padahal mereka belum tentu mampu memahami maupun melakukan konsep sistem agribisnis secara baik. Jika para pejabat pertanian atau penyuluh masih mempunyai cara pandang seperti itu, bagaimana jadinya dengan petani kita kedepan?
Kesalahan cara pandang seperti itu menyebabkan para pejabat pemerintahan kita selalu sibuk mengurusi petani atau peternak, melakukan penyuluhan yang tidak tepat sasaran kepada petani, dan memberikan fasilitas yang juga keliru kepada petani. Hal inilah yang dapat menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan pada para pejabat pemerintahan maupun petani peternak kita. Petani hanyalah merupakan salah satu komponen perusahaan agribisnis. Jika keberhasilan agribisnis tidak bisa dilakukan oleh petani saja, maka komponen perusahaan agribisnis lainnya haruslah menjadi fokus perhatian yang tidak kalah pentingnya dengan petani peternak itu sendiri. Karena itu, setiap kebijakan pemerintah di bidang pembangunan pertanian haruslah bersifat holistik, yakni menyentuh semua komponen pelaku sistem agribisnis dan mengkoordinasikannya untuk memberdayakan agribisnis. Kebijakan dan tindakan seperti itu harus dilakukan secara terus menerus hingga menjadi budaya bagi masyarakat agribisnis di Indonesia.
Apabila semua komponen pelaku sistem agribisnis sudah dapat memahami hakekat sistem agribisnis dan menjadikannya sebagai budaya dalam mengelola perusahaan agribisnis maka otomatis pendapatan dan kesejahteraan petanipun akan meningkat. Menurut Soekanto (1990) kebudayaan diartikan sebagai garis-garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan. Pertanian “berbudaya industri” adalah pengelolaan kegiatan pertanian secara industri, yakni membuat kebudayaan industri menjadi kebudayaan milik pertanian, yang secara fundamental berarti membangun sikap mental dan budaya masyarakat pertanian sebagaimana sikap mental dan budaya yang hidup dalam masyarakat industri (Solahuddin, 1999). Kondisi yang berlawanan dengan budaya idustri adalah “budaya agraris” yang dicirikan oleh sifat komunal, diikat oleh kesadaran kolektif, terdapat ikatan emosional, hubungan dan orientasi primordial, keterkaitan dengan alam tinggi, dan teknologi masih sederhana.
Ciri perilaku agribisnis berkebudayaan industri yang diharapkan terbentuk adalah: (1) tekun, ulet, kerja keras, hemat, cermat, disiplin dan menghargai waktu; (2) mampu merencanakan dan mengelola usaha; (3) selalu memegang teguh asas efisiensi dan produktivitas, (4) menggunakan teknologi terutama teknologi tepat guna dan akrab lingkungan, (5) mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil, (6) berorientasi kepada kualitas produk dan permintaan pasar, (7) berorientasi kepada nilai tambah, (8) mampu mengendalikan dan memanfaatkan alam, (9) tanggap terhadap inovasi, (10) berani menghadapi risiko usaha, (11) melakukan agribisnis yang terintegrasi maupun quasi integrasi secara vertikal, (12) perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam sehingga produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang diminta pasar, dan (13) professional serta mandiri dalam menentukan keputusan.
Apabila ciri yang menjadi prinsip industri itu sudah dipahami, dihayati dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari oleh komunitas para pelaku sistem agribisnis, maka perilaku agribisnis dikatakan sudah menjadi “budaya industri”. Menurut Council on Food, Agricultural and Resource Economics (Simatupang, 1995) industri dalam agribisnis dapat pula dipahami sebagai struktur agribisnis industrial, yakni konsolidasi usahatani yang disertai dengan koordinasi vertikal diantara seluruh tahapan agribisnis dalam satu alur produk melalui mekanisme non pasar sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan pilihan konsumen akhir.
Suparta (2001) menandaskan bahwa, perilaku agribisnis peternak ayam ras pedaging belum kondusif ke arah perilaku agribisnis berkebudayaan industri, karena: (a) kurang didukung oleh aspek perilaku hubungan sistem agribisnis, (b) terlalu berorientasi kepada on farm agribusiness, pola pikir dan etika kesisteman untuk mencapai tujuan bersama masih kurang, sehingga peternak belum mampu merumuskan visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan perusahaan agribisnis lainnya yang seharusnya dapat didiskusikan dan dirumuskan secara terbuka oleh para pihak. Kondisi yang hampir serupa juga tampak pada pelaku sistem agribisnis lainnya. Jika perilaku agribisnis pada peternak ayam ras pedaging yang nota bena karakteristik usahanya sudah bersifat industri serta dikenal pula dengan sebutan “industri peternakan rakyat” belum juga kondusif kearah perilaku agribisnis berkebudayaan industri, bagaimana halnya dengan pelaku agribisnis pada komoditas pertanian lainnya?
Untuk meningkatkan perilaku agribisnis itu, dapat direkomendasikan penyuluhan dengan pendekatan “penyuluhan sistem agribisnis”, yang: (a) tujuan penyuluhannya jelas kearah peningkatan perilaku agribisnis, (b) metode dan media komunikasi harus lebih beragam dan jelas polanya untuk memenuhi kebutuhan sasaran, (c) materi penyuluhannya lengkap mencakup aspek teknis produksi, aspek manajemen agribisnis, dan aspek hubungan sistem agribisnis dengan wawasan industri.
Penyuluhan sistem agribisnis tidak hanya ditujukan kepada petani atau peternak, tetapi hendaknya ditujukan pula kepada pelaku sistem agribisnis lainnya, agar masing-masing perusahaan agribisnis mampu memahami dengan baik dan benar hakekat sistem agribisnis, selanjutnya sangat diharapkan akan mampu membangun kesamaan sikap, perilaku dan etika bisnis dalam kebersamaan dan saling ketergantungan
0 komentar:
Posting Komentar