Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Minggu, 29 Mei 2011

PERILAKU AGRIBISNIS BERKEBUDAYAAN INDUSTRI

Keberhasilan usaha pertanian atau peternakan tidak bisa ditentukan oleh petani saja, tetapi merupakan hasil sinergi antara petani (perusahaan usahatani) dengan perusahaan yang menghasilkan sarana produksi pertanian dan perusahaan yang akan mengolah atau  memasarkan hasilnya serta komponen penunjang agribisnis. Karena itu, harus ada kesamaan sikap dan perilaku serta etika bisnis diantara pengusaha para pelaku sistem agribisnis.

Pembangunan agribisnis dapat dilakukan melalui pemberdayaan petani dan pelaku sistem agribisnis lainnya tentang hakekat sistem agribisnis, yakni membangun sikap mental dan budaya industri pada masyarakat pertanian secara keseluruhan. Perusahaan pengadaan dan penyediaan sarana produksi, perusahaan pengolahan dan perusahaan pemasaran, tidaklah serta merta menjadi Pembina dalam hubungan kemitraan inti plasma. Perusahaan tersebut, sebelum membina harus dibina terlebih dahulu oleh subsistem jasa penunjang agribisnis.

Suatu kesalahan yang sangat konyol selama ini adalah: (1) tindakan penyuluh yang selalu berfokus kepada upaya untuk memperbaiki kemampuan teknis produksi petani, padahal yang terpenting adalah meningkatkan kemampuan manajemen agribisnis dan manajemen hubungan sistem agribisnisnya; (2) para penyuluh kita telah terjebak di dalam lingkaran sistem kerja yang keliru, memandang peningkatan produksi sebagai tujuan akhir; (3) disadari atau tidak para pejabat pertanian kita telah membentuk opini masyarakat bahwa tingkat produksi dan produktivitas merupakan ukuran keberhasilan pembangunan pertanian; dan (4) para pejabat pertanian memandang bahwa perusahaan agribisnis yang berada di hulu dan di hilir sebagai pengusaha yang sudah professional dan memahami sistem agribisnis, padahal mereka belum tentu mampu memahami maupun melakukan konsep sistem agribisnis secara baik. Jika para pejabat pertanian atau penyuluh masih mempunyai cara pandang seperti itu, bagaimana jadinya dengan petani kita kedepan?

Kesalahan cara pandang seperti itu menyebabkan para pejabat pemerintahan kita selalu sibuk mengurusi petani atau peternak, melakukan penyuluhan yang tidak tepat sasaran kepada petani, dan memberikan fasilitas yang juga keliru kepada petani. Hal inilah yang dapat menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan pada para pejabat pemerintahan maupun petani peternak kita. Petani hanyalah merupakan salah satu komponen perusahaan agribisnis. Jika keberhasilan agribisnis tidak bisa dilakukan oleh petani saja, maka komponen perusahaan agribisnis lainnya haruslah menjadi fokus perhatian yang tidak kalah pentingnya dengan petani peternak itu sendiri. Karena itu, setiap kebijakan pemerintah di bidang pembangunan pertanian haruslah bersifat holistik, yakni menyentuh semua komponen pelaku sistem agribisnis dan mengkoordinasikannya untuk memberdayakan agribisnis. Kebijakan dan tindakan seperti itu harus dilakukan secara terus menerus hingga menjadi budaya bagi masyarakat agribisnis di Indonesia.

Apabila semua komponen pelaku sistem agribisnis sudah dapat memahami hakekat sistem agribisnis dan menjadikannya sebagai budaya dalam mengelola perusahaan agribisnis maka otomatis pendapatan dan kesejahteraan petanipun akan meningkat. Menurut Soekanto (1990) kebudayaan diartikan sebagai garis-garis pokok tentang perilaku yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang seharusnya dilakukan. Pertanian “berbudaya industri” adalah pengelolaan kegiatan pertanian secara industri, yakni membuat kebudayaan industri menjadi kebudayaan milik pertanian, yang secara fundamental berarti membangun sikap mental dan budaya masyarakat pertanian sebagaimana sikap mental dan budaya yang hidup dalam masyarakat industri (Solahuddin, 1999). Kondisi yang berlawanan dengan budaya idustri adalah “budaya agraris” yang dicirikan oleh sifat komunal, diikat oleh kesadaran kolektif, terdapat ikatan emosional, hubungan dan orientasi primordial, keterkaitan dengan alam tinggi, dan teknologi masih sederhana.

Ciri perilaku agribisnis berkebudayaan industri yang diharapkan terbentuk adalah: (1) tekun, ulet, kerja keras, hemat, cermat, disiplin dan menghargai waktu; (2) mampu merencanakan dan mengelola usaha; (3) selalu memegang teguh asas efisiensi dan produktivitas, (4) menggunakan teknologi terutama teknologi tepat guna dan akrab lingkungan, (5) mempunyai motivasi yang kuat untuk berhasil, (6) berorientasi kepada kualitas produk dan permintaan pasar, (7) berorientasi kepada nilai tambah, (8) mampu mengendalikan dan memanfaatkan alam, (9) tanggap terhadap inovasi, (10) berani menghadapi risiko usaha, (11) melakukan agribisnis yang terintegrasi maupun quasi integrasi secara vertikal, (12) perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam sehingga produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan yang diminta pasar, dan (13) professional serta mandiri dalam menentukan keputusan.

Apabila ciri yang menjadi prinsip industri itu sudah dipahami, dihayati dan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari oleh komunitas para pelaku sistem agribisnis, maka perilaku agribisnis dikatakan sudah menjadi “budaya industri”. Menurut Council on Food, Agricultural and Resource Economics (Simatupang, 1995) industri dalam agribisnis dapat pula dipahami sebagai struktur agribisnis industrial, yakni konsolidasi usahatani yang disertai dengan koordinasi vertikal diantara seluruh tahapan agribisnis dalam satu alur produk melalui mekanisme non pasar sehingga karakteristik produk akhir yang dipasarkan dapat dijamin dan disesuaikan dengan pilihan konsumen akhir.

Suparta (2001) menandaskan bahwa, perilaku agribisnis peternak ayam ras pedaging belum kondusif ke arah perilaku agribisnis berkebudayaan industri, karena: (a) kurang didukung oleh aspek perilaku hubungan sistem agribisnis, (b) terlalu berorientasi kepada on farm agribusiness, pola pikir dan etika kesisteman untuk mencapai tujuan bersama masih kurang, sehingga peternak belum mampu merumuskan visi, misi, etika bisnis, tujuan, sasaran dan rencana kerja baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan perusahaan agribisnis lainnya yang seharusnya dapat didiskusikan dan dirumuskan secara terbuka oleh para pihak. Kondisi yang hampir serupa juga tampak pada pelaku sistem agribisnis lainnya. Jika perilaku agribisnis pada peternak ayam ras pedaging yang nota bena karakteristik usahanya sudah bersifat industri serta dikenal pula dengan sebutan “industri peternakan rakyat” belum juga kondusif kearah perilaku agribisnis berkebudayaan industri, bagaimana halnya dengan pelaku agribisnis pada komoditas pertanian lainnya?

Untuk meningkatkan perilaku agribisnis itu, dapat direkomendasikan penyuluhan dengan pendekatan “penyuluhan sistem agribisnis”, yang: (a) tujuan penyuluhannya jelas kearah peningkatan perilaku agribisnis, (b) metode dan media komunikasi harus lebih beragam dan jelas polanya untuk memenuhi kebutuhan sasaran, (c) materi penyuluhannya lengkap mencakup aspek teknis produksi, aspek manajemen agribisnis, dan aspek hubungan sistem agribisnis dengan wawasan industri.

Penyuluhan sistem agribisnis tidak hanya ditujukan kepada petani atau peternak, tetapi hendaknya ditujukan pula kepada pelaku sistem agribisnis lainnya, agar masing-masing perusahaan agribisnis mampu memahami dengan baik dan benar hakekat sistem agribisnis, selanjutnya sangat diharapkan akan mampu membangun kesamaan sikap, perilaku dan etika bisnis dalam kebersamaan dan saling ketergantungan

Kendala dalam Pengembangan Pertanian

Dalam pengembangan sektor pertanian ke depan masih ditemui beberapa kendala, terutama dalam pengembangan sistem pertanian yang berbasiskan agribisnis dan agroindustri. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan pertanian khususnya petani skala kecil, antara lain: 

Pertama, lemahnya struktur permodalan dan akses terhadap sumber permodalan. Salah satu faktor produksi penting dalam usaha tani adalah modal. Besar-kecilnya kala usaha tani yang dilakukan tergantung dari pemilikan modal. Secara umum pemilikan modal petani masih relatif kecil, karena modal ini biasanya bersumber dari penyisihan pendapatan usaha tani sebelumnya. Untuk memodali usaha tani selanjutnya petani terpaksa memilih alternatif lain, yaitu meminjam uang pada orang lain yang lebih mampu (pedagang) atau segala kebutuhan usaha tani diambil dulu dari toko dengan perjanjian pembayarannya setelah panen. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan petani sering terjerat pada sistem pinjaman yang secara ekonomi merugikan pihak petani.

Kedua, ketersediaan lahan dan masalah kesuburan tanah. Kesuburan tanah sebagai faktor produksi utama dalam pertanian makin bermasalah. Permasalahannya bukan saja menyangkut makin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan petani, tetapi juga berkaitan dengan perubahan perilaku petani dalam berusaha tani. Dari sisi lain mengakibatkan terjadinya pembagian penggunaan tanah untuk berbagai subsektor pertanian yang dikembangkan oleh petani.

Ketiga, pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Sarana produksi sangat diperlukan dalam proses produksi untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Pengadaan sarana produksi itu bukan hanya menyangkut ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, tetapi yang lebih penting adalah jenis dan kualitasnya. Oleh karena itu pengadaan sarana produksi ini perlu direncanakan sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan dan dipergunakan pada waktu yang tepat.

Keempat, terbatasnya kemampuan dalam penguasaan teknologi. Usaha pertanian merupakan suatu proses yang memerlukan jangka waktu tertentu. Dalam proses tersebut akan terakumulasi berbagai faktor produksi dan sarana produksi yang merupakan faktor masukan produksi yang diperlukan dalam proses tersebut untuk mendapatkan keluaran yang diinginkan. Petani yang bertindak sebagai manajer dan pekerja pada usaha taninya haruslah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam penggunaan berbagai faktor masukan usaha tani, sehingga mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha yang dilakukan.

Kelima, lemahnya organisasi dan manajemen usaha tani. Organisasi merupakan wadah yang sangat penting dalam masyarakat, terutama kaitannya dengan penyampaian informasi (top down) dan panyaluran inspirasi (bottom up) para anggotanya. Dalam pertanian organisasi yang tidak kalah pentingnya adalah kelompok tani. Selama ini kelompok tani sudah terbukti menjadi wadah penggerak pengembangan pertanian di pedesaan. Hal ini dapat dilihat dari manfaat kelompok tani dalam hal memudahkan koordinasi, penyuluhan dan pemberian paket teknologi.

Keenam, kurangnya kuantitas dan kualitas sumberdaya manusia untuk sektor agribisnis. Petani merupakan sumberdaya manusia yang memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan suatu kegiatan usaha tani, karena petani merupakan pekerja dan sekaligus manajer dalam usaha tani itu sendiri. Ada dua hal yang dapat dilihat berkaitan dengan sumberdaya manusia ini, yaitu jumlah yang tersedia dan kualitas sumberdaya manusia itu sendiri. Kedua hal ini sering dijadikan sebagai indikator dalam menilai permasalahan yang ada pada kegiatan pertanian.